Oleh DASAM SYAMSUDIN
Agama dan Humanisme-Lubang hitam (black hold), bukanlah sebuah lubang. Itu adalah bintang yang mati. Bintang gemintang yang berserakan di jagat raya mempunyai usia. Maksudnya, pijar yang menyala-nyala di tubuh bintang suatu saat akan padam. Dan reaksi supernova yang terjadi sebelum bintang itu betul-betul mati akan melempar dan menghamburkan seluruh materi dan energi dengan dahsyat. Lalu, semua materi itu akan terhisap kembali pada materi dasar bintang tersebut dengan kekuatan gravitatsi yang secara menakjubkan menjadi jutaan kali lipat besarnya. Sehingga dengan daya hisap gravitasi yang sangat dahsyat itu mampu menarik benda-benda angkasa yang lewat dekat dengannya. Sebesar dan secepat apapun benda angkasa yang mendekat akan hancur terhisap, termasuk sesuatu yang tercepat; seperti gelombang foton (cahaya). Besarnya daya gravitasi bintang tersebut membuat cahaya terjebak dan tak berdaya, tak bisa memantul atau lepas darinya. Hal itu menyebabkan tak ada gelombang foton yang dipantulkan dari bintang tersebut, sehingga bintang itu terlihat bolong layaknya sebuah lubang dalam yang tak berujung. Bukan hanya itu, besarnya gaya gravitasi menjadikan bintang mati itu menghisap dirinya sendiri sampai ukurannya berkali-kali lipat lebih kecil dari ukuran awalnya. Sangat menakjubkan.
Bayangkan, sebuah bintang yang begitu besar bisa tidak terihat disebabkan tak ada cahaya yang mampu memancar darinya. Alih-alih cahaya yang menyorot bintang itu malah dihisapnya.
Fakta ilmiah di atas yang ditemukan pada abad keduapuluh ini, mempunyai hikmah yang sangat menarik. Katakan saja bisa dianalogikan dengan keimanan pada Tuhan yang bisa tidak terlihat (tidak terasa) karena hati kita tidak bisa memancarkan cahaya-Nya.
Al-Quran berfirman, “Allah adalah cahaya di atas cahaya”. Menurut Dr. Zakir Naik, penulis buku Al-Quran dan Sains Modern, dia juga seorang Hafidz (seorang yang hafal seluruh Al-Quran), mengatakan, yang dimaksud Allah cahaya diatas cahaya merupakan sebuah analogi; bahwa Allah SWT merupakan cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang tidak pernah padam yang mampu “menerangi” alam semesta agar bergerak mengikuti hukum-Nya, juga sebagai cahaya yang menuntun orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan juga sebagai cahaya yang membuka penglihatan kepada orang-orang yang buta mata[hati]nya sehingga ia sadar dimana ia berada dan siapa dirinya.
Semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Maksudnya, manusia pada dasarnya mempunyai potensi untuk beriman yang selalu ada di dalam hatinya. Sejak akalnya diciptakan dan diberi “kemampuan untuk menerima kebenaran”—meminjam istilah Aristoteles—manusia sudah dikenalkan pada Tuhannya. Yang apabila akalnya mampu berpikir secara “baligh” ia bisa berhubungan erat (menyadari) dengan kebenaran hati yang senantiasa memancarkan cahaya keyakinan bahwa Allah itu ada. Cahaya-Nya akan selalu memancar di dalam hatinya sebagai penerang atau pembuka kesadaran bahwa manusia harus beriman kepada-Nya.
Jadi, tidak ada manusia yang tidak menyadari akan kehadiran Tuhan, meski ia seorang atheis. Tuhan yang tidak membutuhkan bentuk dalam kehidupan, itu karena kehadiran-Nya sangat terasa dalam hidup ini. Seperti kata M. Quraish Shihab, ketidak terlihatan Tuhan dalam kehidupan karena Dia sangat terasa kehadiran-Nya. Atheis hanyalah sebuah pengakuan manusia yang “merasa” tidak ada Tuhan atau tidak membutuhkan Tuhan. Sebab hakikatnya ia mengakui sebuah “kekuatan” yang senantiasa hadir dalam hidupnya dan yang menjadikannya hidup. Seorang sufi berkata, selagi manusia memiliki harapan dan ketakutan, selama itu pula ia mengakui Tuhan.
Semua manusia itu memiliki cahaya Allah SWT yang berada dalam hatinya. Akan tetapi, acap kali gemerlap kehidupan dunia membutakan matahati sehingga kita lebih terpesona oleh pancaran kehidupan dunia ketimbang pancaran cahaya Allah. Hati yang terlalu sibuk dengan kehidupan dunia, ditambah kebanggaan terhadap diri sendiri membuat cahaya Tuhan yang memancar di dalam hati tidak terasa. Ledakan syahwat dunia layaknya supernova menjadikan diri terhisap kedalam hati yang telah terbungkus dengan gemerlapnya cahaya dunia yang ada kalanya menipu.
Untuk membuka tabir gelap yang menutupi cahaya hati, manusia harus berusaha sekerasnya mendefault (mengembalikan akal dan hatinya) pada posisi awal, saat belenggu-belenggu pikiran dan kesombongan belum pernah menyentuhnya. Cobalah berpikir sejenak merasakan pancaran cahaya yang ada di dalam hati kita dengan tidak mengikat [dulu] hidup kita pada sebuah prinsip, baik atau buruknya. Netralkan akal dan pikiran dari teori-teori hidup ini, kosongkan dari kesibukan duniawi, dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa di dalam hati ada sebuah cahaya yang membuka kita pada penglihatan bahwa disinilah kita hidup, dan inilah diri kita yang tercipta karena Allah SWT.
Jika meminjam istilah Ari Gynanjar, seorang trainer ESQ (Emotional Spiritual Questiion), bahwa setiap hati manusia itu ada godspot (suara Tuhan). Setiap manusia menyepakati kebenaran universal, yakni di dalam hati manusia senantiasa ada yang membisikan bahwa kebenaran itu benar dan keburukan itu buruk. Orang jahat tahu apa yang dilakukannya itu salah. Meski perbuatannya salah, tapi mengakui kesalahan adalah benar. Sebab hati tidak pernah bohong. Selain itu, setiap orang pasti merasakan hal yang sama; manusia itu harus berbuat baik dan berharap dirinya jadi orang baik, dan berharap semua penjahat itu jadi orang baik. Apa itu artinya? Artinya ada “suara” yang selalu membisikan kebenaran yang sama, dan itu adalah suara atau cahaya Allah Swt. Jadi benarlah, bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Yakni manusia pada awalnya ada dalam keadaan suci dan selamanya harus menjaga kesuciannya. Dengarkan suara hati Anda: menodai sesuatu yang suci benarkah hal itu? Salah! Kalau begitu berusahalah diri kita agar menjadi yang suci (beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan misi suci-Nya, yakni amal shaleh (berbuat baik). Wallahu A’lam.
Dasam Syamsudin, Aktivis IMM UIN SGD Bandung
Pemerhati masalah keagamaan
0 komentar:
Posting Komentar