Rabu, 15 Desember 2010

Cahaya Yang Terperangkap

Oleh DASAM SYAMSUDIN

Agama dan Humanisme-Lubang hitam (black hold), bukanlah sebuah lubang. Itu adalah bintang yang mati. Bintang gemintang yang berserakan di jagat raya mempunyai usia. Maksudnya, pijar yang menyala-nyala di tubuh bintang suatu saat akan padam. Dan reaksi supernova yang terjadi sebelum bintang itu betul-betul mati akan melempar dan menghamburkan seluruh materi dan energi dengan dahsyat. Lalu, semua materi itu akan terhisap kembali pada materi dasar bintang tersebut dengan kekuatan gravitatsi yang secara menakjubkan menjadi jutaan kali lipat besarnya. Sehingga dengan daya hisap gravitasi yang sangat dahsyat itu mampu menarik benda-benda angkasa yang lewat dekat dengannya. Sebesar dan secepat apapun benda angkasa yang mendekat akan hancur terhisap, termasuk sesuatu yang tercepat; seperti gelombang foton (cahaya). Besarnya daya gravitasi bintang tersebut membuat cahaya terjebak dan tak berdaya, tak bisa memantul atau lepas darinya. Hal itu menyebabkan tak ada gelombang foton yang dipantulkan dari bintang tersebut, sehingga bintang itu terlihat bolong layaknya sebuah lubang dalam yang tak berujung. Bukan hanya itu, besarnya gaya gravitasi menjadikan bintang mati itu menghisap dirinya sendiri sampai ukurannya berkali-kali lipat lebih kecil dari ukuran awalnya. Sangat menakjubkan.

Bayangkan, sebuah bintang yang begitu besar bisa tidak terihat disebabkan tak ada cahaya yang mampu memancar darinya. Alih-alih cahaya yang menyorot bintang itu malah dihisapnya.

Fakta ilmiah di atas yang ditemukan pada abad keduapuluh ini, mempunyai hikmah yang sangat menarik. Katakan saja bisa dianalogikan dengan keimanan pada Tuhan yang bisa tidak terlihat (tidak terasa) karena hati kita tidak bisa memancarkan cahaya-Nya.

Al-Quran berfirman, “Allah adalah cahaya di atas cahaya”. Menurut Dr. Zakir Naik, penulis buku Al-Quran dan Sains Modern, dia juga seorang Hafidz (seorang yang hafal seluruh Al-Quran), mengatakan, yang dimaksud Allah cahaya diatas cahaya merupakan sebuah analogi; bahwa Allah SWT merupakan cahaya. Dia adalah sumber cahaya yang tidak pernah padam yang mampu “menerangi” alam semesta agar bergerak mengikuti hukum-Nya, juga sebagai cahaya yang menuntun orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan juga sebagai cahaya yang membuka penglihatan kepada orang-orang yang buta mata[hati]nya sehingga ia sadar dimana ia berada dan siapa dirinya.

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Maksudnya, manusia pada dasarnya mempunyai potensi untuk beriman yang selalu ada di dalam hatinya. Sejak akalnya diciptakan dan diberi “kemampuan untuk menerima kebenaran”—meminjam istilah Aristoteles—manusia sudah dikenalkan pada Tuhannya. Yang apabila akalnya mampu berpikir secara “baligh” ia bisa berhubungan erat (menyadari) dengan kebenaran hati yang senantiasa memancarkan cahaya keyakinan bahwa Allah itu ada. Cahaya-Nya akan selalu memancar di dalam hatinya sebagai penerang atau pembuka kesadaran bahwa manusia harus beriman kepada-Nya.

Jadi, tidak ada manusia yang tidak menyadari akan kehadiran Tuhan, meski ia seorang atheis. Tuhan yang tidak membutuhkan bentuk dalam kehidupan, itu karena kehadiran-Nya sangat terasa dalam hidup ini. Seperti kata M. Quraish Shihab, ketidak terlihatan Tuhan dalam kehidupan karena Dia sangat terasa kehadiran-Nya. Atheis hanyalah sebuah pengakuan manusia yang “merasa” tidak ada Tuhan atau tidak membutuhkan Tuhan. Sebab hakikatnya ia mengakui sebuah “kekuatan” yang senantiasa hadir dalam hidupnya dan yang menjadikannya hidup. Seorang sufi berkata, selagi manusia memiliki harapan dan ketakutan, selama itu pula ia mengakui Tuhan.

Semua manusia itu memiliki cahaya Allah SWT yang berada dalam hatinya. Akan tetapi, acap kali gemerlap kehidupan dunia membutakan matahati sehingga kita lebih terpesona oleh pancaran kehidupan dunia ketimbang pancaran cahaya Allah. Hati yang terlalu sibuk dengan kehidupan dunia, ditambah kebanggaan terhadap diri sendiri membuat cahaya Tuhan yang memancar di dalam hati tidak terasa. Ledakan syahwat dunia layaknya supernova menjadikan diri terhisap kedalam hati yang telah terbungkus dengan gemerlapnya cahaya dunia yang ada kalanya menipu.

Untuk membuka tabir gelap yang menutupi cahaya hati, manusia harus berusaha sekerasnya mendefault (mengembalikan akal dan hatinya) pada posisi awal, saat belenggu-belenggu pikiran dan kesombongan belum pernah menyentuhnya. Cobalah berpikir sejenak merasakan pancaran cahaya yang ada di dalam hati kita dengan tidak mengikat [dulu] hidup kita pada sebuah prinsip, baik atau buruknya. Netralkan akal dan pikiran dari teori-teori hidup ini, kosongkan dari kesibukan duniawi, dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa di dalam hati ada sebuah cahaya yang membuka kita pada penglihatan bahwa disinilah kita hidup, dan inilah diri kita yang tercipta karena Allah SWT.

Jika meminjam istilah Ari Gynanjar, seorang trainer ESQ (Emotional Spiritual Questiion), bahwa setiap hati manusia itu ada godspot (suara Tuhan). Setiap manusia menyepakati kebenaran universal, yakni di dalam hati manusia senantiasa ada yang membisikan bahwa kebenaran itu benar dan keburukan itu buruk. Orang jahat tahu apa yang dilakukannya itu salah. Meski perbuatannya salah, tapi mengakui kesalahan adalah benar. Sebab hati tidak pernah bohong. Selain itu, setiap orang pasti merasakan hal yang sama; manusia itu harus berbuat baik dan berharap dirinya jadi orang baik, dan berharap semua penjahat itu jadi orang baik. Apa itu artinya? Artinya ada “suara” yang selalu membisikan kebenaran yang sama, dan itu adalah suara atau cahaya Allah Swt. Jadi benarlah, bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan “fitrah”. Yakni manusia pada awalnya ada dalam keadaan suci dan selamanya harus menjaga kesuciannya. Dengarkan suara hati Anda: menodai sesuatu yang suci benarkah hal itu? Salah! Kalau begitu berusahalah diri kita agar menjadi yang suci (beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan misi suci-Nya, yakni amal shaleh (berbuat baik). Wallahu A’lam.

Dasam Syamsudin, Aktivis IMM UIN SGD Bandung

Pemerhati masalah keagamaan

Minggu, 13 September 2009

Puasa dan Kesalehan Otentik

Oleh Ust. Moh. Yunus

Allah SWT, menganjurkan kepada hambanya yang berpuasa agar senantiasa mengisi puasanya dengan melakukan amal shaleh (berbuat baik). Hal tersebut dilakukan semata-mata agar hambanya bisa menumbuhkan ketaqwaan di dalam dirinya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagaimana Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kalian bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2]:183).

Allah memerintahkan puasa agar hambanya dekat dengan-Nya. Tapi, justru yang ia kehendaki dari hambanya yang berpuasa adalah, agar hamba tersebut berbuat baik kepada sesamanya, menjalin hubungan muamalah yang baik dan silaturahmi yang terjaga dengan tidak mengesampingkan ibadah vertical—ibadah yang langsung berhubungan dengan-Nya (ibadah mahdoh).

Nah, oleh karena itu, di dalam melaksanakan puasa, berarti kita harus memperhatikan ibadah yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Dan, permasalah kemanusiaan sekarang yang paling dominan ialah permasalahan ekonomi.

Masyarakat Indonesia, saat ini, walaupun menurut sensus telah mengalami jumlah penurunan dalam jumlah kemiskinan bebarapa persen, tetap saja permasalahan ekonomi selalu jadi permasalahan nomor wahid bagi bangsa yang mayoritas beragama Islam ini. Untuk itu, kesempatam ramadhan kali ini, jika kita menghendaki kesempurnaan ibadah puasa, kita harus bisa berbuat baik pada orang lain. Artinya, saat-saat berpuasa harus menjadi motivasi dan acuan untuk membantu tetangga yang berkekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya membantu tetangga yang bingung karena saat berbuka puasa ia tidak memiliki apa-apa, atau kekurangan pangan.

Dengan demikian, puasa sebagai jalan untuk mendekati Allah SWT, harus jadi energi dahsyat untuk berusaha mengurangi jumlah kemiskinan dan kelaparan. Upaya memberantas kelaparan, kemiskinan dan anak-anak yatim atau jalanan yang terlantar atau bahkan terbuang harus jadi pemasalah kolektif bagi hamba yang merasa beragama Islam—bahkan secara kemanusiaan, bagi siapapun yang beragama.

Masyarat atau pemerintah harus sama-sama meyakini dan berusaha menggugah, untuk tidak membiarkan permasalahan ekonomi melanda bangsa ini di bulan yang suci. Apalah artinya berpuasa jika kita membiarkan orang lain kelaparan, miskin dan terbengkalai karena kekurangannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Puasa bukan semata menahan dari hal-hal yang membatalkan saja, tapi harus betul-betul jadi ajang pelatihan dan energi dahsyat menggugah diri agar senantiasa memperhatikan saudara-saudara yang lain. Puasa untuk ketaqwaan kita kepada Tuhan, adalah puasa yang memperdulikan orang lain dari keuslitan-kesulitan hidup yang menghimpit mereka.

Sekarang, bagaimana puasa akan menjadi jalan kita mendekati Allah SWT, sedangkan kita melupakan orang lain. Padahal Allah sendiri memerintahkan agar kita berbuat peduli pada orang lain dengan memberi pertolongan berupa apapun yang baik menurut pandangan Tuhan. Bukankah Allah Mahapeduli pada hambanya, maka tauladanilah sifat-Nya itu.

Salah satu fungsi puasa adalah untuk mentauladani sifat Allah yang terlepas dari kebutuhan materi dan kebutuhan apapaun. Nah, itu juga artinya kita harus mentaladani sifat-sifat-Nya yang lain, diantaranya kepedulian terhadap orang lain. Menolong sesame manusia, itu bukan hanya dipandang baik dari segi agama, tapi dari segi kemanusiaan pun manusia dituntut membantu yang lain, sebab manusia adalah makhluk social (homo socious).

Oleh karena itu, Momentum berpuasa, sebagai ibadah yang sangat agung, harus kita gusur ke arah tersebut. Sebab, mendekatkan diri kepada Tuhan walau pun itu kewajiban setiap individu, bukan berarti harus melupakan hubungan dengan manusia lain. Lagipula, Allah SWT sangat menyukai hambanya yang berusaha mendekati-Nya dengan jalan berbuat baik kepada sesama manusia, menolong yang susah, memberi pada yang membutuhkan, dan mengangkat orang-orang yang jatuh dari ketidak semangatan hidup dan beribadah.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 184 Allah SWT menyinggung, bahwa apabila seorang hamba batal puasanya—sebab alasan tertentu bukan karena disengaja—maka salah satu kifaratnya dia harus memberi makan orang miskin. Hal itu bisa kita pahami bahwa pesan-pesan kemanusiaan dalam berpuasa amat kental, sehingga Allah memberi konsekuensi bagi yang batal dengan harus memberi makan pada si miskin. Artinya, sisi kepeduliaan terhadap sesama manusia dalam berpuasa pun menjadi hal yang sangat penting diperhatikan. Meningkatkan kualitas berpuasa berarti meningkatkan kepeduliaan pada sesama manusia.


Sabtu, 05 September 2009

Panggung Kehidupan

Oleh Neng Fiqih

Senja, saat matahari merayapi jalan kembali keufuknya. Sinarnya yang merumbai-rumbai begitu hangat laksana pelukan Bidadari. Semilir angin menghembus membisikan nyanyian dari Negeri Cinta di antah berantah. Belaian angin yang lembut, memaksa rumput yang menghampar hijau dan dedaunan yang gelayutan di pepohonan menari-nari, mengikuti nada-nada alam yang berirama. Alam adalah harmonisasi dari perpaduan berbagai unsur yang menyatu.
Bagaikan jemari yang merayapi family cord dengan terarah, menekan senarnya dengan lembut, dan memetiknya penuh irama yang lahir dari hati. Sehingga gitar bersenandung penuh keindahan, menebarkan aura kebahagiaan. Syukurilah, hidup yang tidak akan pernah kehilangan keindahannya. Sebab, semuanya anugerah Tuhan yang tiada tara.

Tuhan Berfirman, “Jadi! Maka jadilah”. Laksana panggung sandiwara. Tirai kehidupan disingkap-Nya dengan lembut. Bumi dan langit yang tadinya menyatu, dipisahkan sehingga ruang dan waktu tercipta. Dengan penuh ketaatan, semua materi, energi, sampai gelombang foton, berduyun-duyun menyatu padu membentuk dekorasi alam yang tertata rapi nan indah. Hiasan-hiasan langit ditebarkan, gemerlip bintang, kelembutan cahaya rembulan, hilir mudik awan, sampai lengkungan pelangi yang mencoret langit dengan aneka warnanya menjadi lukisan maha karya yang indah tiada terperi. Hamparan rumput diratakan menyelimuti bumi laksana karpet hijau bercahaya, gunung-gemunung ditancapkan, salju melapisi menjadi kulit beberapa pegunungan, samudera dibentangkan, daratan ditonjolkan, hutan pun didirikan dengan pepohonan yang tumbuh liar menjejalinya, dan hewan-hewan dihamburkan, semua menempati singgasananya masing-masing. Oh… betapa maha karya yang luar biasa dari Sang Pencipta.

Tuhan sangat Bijaksana mendisain “panggung ini” begitu sempurna. Untuk siapakah semua ini diciptakan?

Kata yang teruntai indah, menyentuh, deskriftif serta sempurna yang diguratkan di dalam kitab-Nya, membisikan palung jiwa. Sebuah pesan yang dibawa Merpati Putih dari Gurun yang gersang di Negeri Rasul. Alam ini memang telah mencapai dekorasi kesempurnaan dan perpaduaan yang artistik. Namun puncak kesempurnaan ciptaan bukanlah “panggung ini”. Melainkan para pemerannya, aktor yang akan memerankan skenario kehidupan yang telah di tuliskan-Nya. Siapakah gerangan mereka?

Pasukan Cahaya—para malaikat—bertanya-tanya tentang calon pemimpin yang akan menempati ruang di atas bumi dan mengalir dengan waktu di bawah surya. Mereka Manusia! Gemuruh celotehan Malaikat menggema menjejelai lelangit. Pasukan Cahaya itu protes pada Tuhan karena cintanya pada apa yang telah diciptakan-Nya. Kehawatiran menyelimuti Pasukan Cahaya, takut-takut kalau sang pemimpin dunia ini merusak mahakarya tiada tara. Tuhan, membelai para malaikat dengan kalam yang menyentuh. Malaikat pun tertunduk mengerti.

Awalnya dia hanyalah sebuah lempung yang beragam, dicampu-campur lalu diadon. Bentuk sempurna pun tercipta. Tubuhnya masih kaku seperti patung, lalu ruh yang ditiupkan Tuhan beterbangan, berputar memperhatikan sosok yang akan dihuninya. Manusia pertama tercipta. Alam menjerit?

Tidak ada, bahkan tidak boleh makhluk bersujud kepada makhluk lain. Tapi untuk Adam. Lihatlah! Pasukan Cahaya pun sujud penuh ketaatan karena Tuhan. Mengapa makhluk ini begitu dimanjakan? Mengapa makhluk ini mencapai kesempurnaan kehidupan? mengapa makhluk ini begitu pintar? Mengapa makhluk ini mendapat surga? Alasannya hanya satu. Mereka pemimpin. aktor yang akan memerankan skenario yang telah di tulis Tuhan dengan Qolam-Nya. Jika mereka mampu mengikuti skenario-Nya. Panggung keindahan yang sesungguhnya telah menantinya di Negeri Akhirat. Namun, jika peran mereka buruk. Tidak ada panggung yang indah. Yang ada hanya gemuruh cemooh penuh caci dari penonton sandiwara ini. Siksa akan kita rasa.[]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cna certification