Oleh Neng Fiqih
Senja, saat matahari merayapi jalan kembali keufuknya. Sinarnya yang merumbai-rumbai begitu hangat laksana pelukan Bidadari. Semilir angin menghembus membisikan nyanyian dari Negeri Cinta di antah berantah. Belaian angin yang lembut, memaksa rumput yang menghampar hijau dan dedaunan yang gelayutan di pepohonan menari-nari, mengikuti nada-nada alam yang berirama. Alam adalah harmonisasi dari perpaduan berbagai unsur yang menyatu.
Bagaikan jemari yang merayapi family cord dengan terarah, menekan senarnya dengan lembut, dan memetiknya penuh irama yang lahir dari hati. Sehingga gitar bersenandung penuh keindahan, menebarkan aura kebahagiaan. Syukurilah, hidup yang tidak akan pernah kehilangan keindahannya. Sebab, semuanya anugerah Tuhan yang tiada tara.
Tuhan Berfirman, “Jadi! Maka jadilah”. Laksana panggung sandiwara. Tirai kehidupan disingkap-Nya dengan lembut. Bumi dan langit yang tadinya menyatu, dipisahkan sehingga ruang dan waktu tercipta. Dengan penuh ketaatan, semua materi, energi, sampai gelombang foton, berduyun-duyun menyatu padu membentuk dekorasi alam yang tertata rapi nan indah. Hiasan-hiasan langit ditebarkan, gemerlip bintang, kelembutan cahaya rembulan, hilir mudik awan, sampai lengkungan pelangi yang mencoret langit dengan aneka warnanya menjadi lukisan maha karya yang indah tiada terperi. Hamparan rumput diratakan menyelimuti bumi laksana karpet hijau bercahaya, gunung-gemunung ditancapkan, salju melapisi menjadi kulit beberapa pegunungan, samudera dibentangkan, daratan ditonjolkan, hutan pun didirikan dengan pepohonan yang tumbuh liar menjejalinya, dan hewan-hewan dihamburkan, semua menempati singgasananya masing-masing. Oh… betapa maha karya yang luar biasa dari Sang Pencipta.
Tuhan sangat Bijaksana mendisain “panggung ini” begitu sempurna. Untuk siapakah semua ini diciptakan?
Kata yang teruntai indah, menyentuh, deskriftif serta sempurna yang diguratkan di dalam kitab-Nya, membisikan palung jiwa. Sebuah pesan yang dibawa Merpati Putih dari Gurun yang gersang di Negeri Rasul. Alam ini memang telah mencapai dekorasi kesempurnaan dan perpaduaan yang artistik. Namun puncak kesempurnaan ciptaan bukanlah “panggung ini”. Melainkan para pemerannya, aktor yang akan memerankan skenario kehidupan yang telah di tuliskan-Nya. Siapakah gerangan mereka?
Pasukan Cahaya—para malaikat—bertanya-tanya tentang calon pemimpin yang akan menempati ruang di atas bumi dan mengalir dengan waktu di bawah surya. Mereka Manusia! Gemuruh celotehan Malaikat menggema menjejelai lelangit. Pasukan Cahaya itu protes pada Tuhan karena cintanya pada apa yang telah diciptakan-Nya. Kehawatiran menyelimuti Pasukan Cahaya, takut-takut kalau sang pemimpin dunia ini merusak mahakarya tiada tara. Tuhan, membelai para malaikat dengan kalam yang menyentuh. Malaikat pun tertunduk mengerti.
Awalnya dia hanyalah sebuah lempung yang beragam, dicampu-campur lalu diadon. Bentuk sempurna pun tercipta. Tubuhnya masih kaku seperti patung, lalu ruh yang ditiupkan Tuhan beterbangan, berputar memperhatikan sosok yang akan dihuninya. Manusia pertama tercipta. Alam menjerit?
Tidak ada, bahkan tidak boleh makhluk bersujud kepada makhluk lain. Tapi untuk Adam. Lihatlah! Pasukan Cahaya pun sujud penuh ketaatan karena Tuhan. Mengapa makhluk ini begitu dimanjakan? Mengapa makhluk ini mencapai kesempurnaan kehidupan? mengapa makhluk ini begitu pintar? Mengapa makhluk ini mendapat surga? Alasannya hanya satu. Mereka pemimpin. aktor yang akan memerankan skenario yang telah di tulis Tuhan dengan Qolam-Nya. Jika mereka mampu mengikuti skenario-Nya. Panggung keindahan yang sesungguhnya telah menantinya di Negeri Akhirat. Namun, jika peran mereka buruk. Tidak ada panggung yang indah. Yang ada hanya gemuruh cemooh penuh caci dari penonton sandiwara ini. Siksa akan kita rasa.[]
0 komentar:
Posting Komentar